LP3ES Luncurkan Buku “Pasukan Siber”, Bahas Ancaman Demokrasi di Era Digital

Headline, Politik337 Dilihat

Jakarta, Indonesiaxpos – Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) resmi meluncurkan buku terbaru berjudul “Pasukan Siber, Operasi Pengaruh dan Masa Depan Demokrasi Indonesia” di Aryaduta Hotel Menteng, Jakarta, Senin (25/8). Acara ini sekaligus menjadi bagian dari perayaan 54 tahun berdirinya LP3ES.

Direktur Eksekutif LP3ES, Fahmi Wibawa, dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur karena peluncuran buku ini bertepatan dengan perayaan 54 tahun LP3ES. Menurutnya, buku “Pasukan Siber” menjadi capaian penting setelah melalui proses panjang sejak tahun 2019, di penghujung periode pertama Presiden Joko Widodo, dengan melibatkan tim riset dari Universitas Amsterdam dan Universitas Diponegoro.

“Buku ini lahir dari perjalanan riset yang melelahkan tapi juga sangat berharga. Temuan-temuan yang ada sungguh mengusik, karena membuka mata kita bagaimana demokrasi kita sedang menghadapi tantangan serius di ruang digital,” ujar Fahmi.

Ia menekankan bahwa persoalan ini tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga negara lain seperti Amerika Serikat yang pernah mengalami penurunan kualitas demokrasi. “Pertanyaannya, apakah kita akan hanyut dalam arus ini, atau justru mampu mempertahankan demokrasi kita? Inilah yang harus kita kawal bersama hingga tahun 2029 nanti,” tegasnya.

Fahmi juga memberikan apresiasi khusus kepada para penulis buku, yakni Wijayanto, Ward Berenschot, dan Yatun Sastramidjaja dan Kris Ruijgrok yang telah bekerja keras selama lima tahun untuk menghadirkan karya yang bernilai besar bagi demokrasi.

Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Abdul Hamid, mengingatkan kembali sejarah panjang lembaga yang berdiri sejak 19 Agustus 1971 atas prakarsa tokoh bangsa seperti Prof. Sumitro Djojohadikusumo dan Prof. Emil Salim. “Momentum HUT LP3ES tahun ini terasa istimewa karena ditandai dengan peluncuran buku yang sudah ditunggu-tunggu sejak lima tahun lalu,” katanya.

Menurut Abdul Hamid, buku “Pasukan Siber” tidak hanya menyajikan hasil riset, tetapi juga menjadi bahan refleksi tentang maraknya hoaks, disinformasi, dan operasi siber yang semakin kompleks. “Buku ini menjelaskan secara mendalam bagaimana operasi siber bisa memengaruhi opini publik dan melemahkan demokrasi. Karena itu, kita semua ditantang untuk lebih waspada,” ujarnya.

Usai sambutan, acara berlanjut dengan seremonial launching buku. Dalam prosesi tersebut, perwakilan LP3ES menyerahkan eksemplar perdana “Pasukan Siber” secara simbolis kepada para tamu kehormatan, di antaranya Komaruddin Hidayat, Didik Ramdani, perwakilan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ketua BAWASLU, Pempred Kompas TV, Pempred Satu Media, delegasi dari Kedutaan Besar Singapura, Kedutaan Besar Belanda, serta perwakilan UNESCO. Penyerahan ini menjadi tanda resmi peluncuran buku sekaligus menegaskan perhatian luas, baik nasional maupun internasional, terhadap ancaman pasukan siber bagi demokrasi.

Buku ini ditulis secara kolaboratif oleh Wijayanto, Ward Berenschot, Yatun Sastramidjaja, Kris Ruijrok . Mereka meneliti secara mendalam pola penyebaran narasi politik di ruang digital, strategi pasukan siber, serta dampaknya terhadap demokrasi Indonesia.

Wijayanto menuturkan, penyusunan buku ini merupakan hasil riset panjang selama hampir lima tahun. Ia menjelaskan bagaimana pasukan siber memanfaatkan algoritma media sosial untuk memperkuat isu tertentu dan membentuk opini publik.

“Mereka membaca suasana publik, lalu mengemas isu sesuai tren yang sedang ramai. Narasi itu cepat beresonansi, masuk ke headline, dan akhirnya dipublikasikan media arus utama. Hasilnya, opini publik sering terbentuk bukan oleh diskursus alami, melainkan oleh operasi yang terencana,” ungkapnya.

Ia juga menyinggung data peserta diskusi yang mayoritas berasal dari kalangan berpendidikan tinggi (45 orang lulusan S1, 11 bergelar S2, dan 4 orang S3), menunjukkan bagaimana narasi yang dikemas dengan cermat dapat dengan mudah diterima publik yang aktif mengakses informasi.

Ward Berenschot menambahkan pentingnya kebijakan hukum untuk memperkuat transparansi komunikasi politik di ranah digital. Ia menyoroti praktik pasukan siber yang kerap menyamarkan konten berbayar sebagai aspirasi organik masyarakat. “Masalahnya adalah ketidakjujuran. Publik mengira konten itu organik, padahal ada bayaran di baliknya. Karena itu, pemerintah Indonesia perlu menghadirkan aturan transparansi sebagaimana advertorial di media cetak. Kalau di koran ada label advertorial, maka di media sosial juga seharusnya ada kewajiban serupa,” tegasnya.

Sementara itu, Komaruddin Hidayat, Ketua Dewan Pers, menyoroti keterbatasan media dalam membongkar praktik korupsi. Ia menilai jurnalis sering menghadapi risiko kriminalisasi ketika terlalu kritis. “Pers tidak selalu bisa menembus sistem yang korup. Karena itu, literasi publik dan perlindungan jurnalis sangat penting,” ujarnya.

Acara juga menghadirkan Komaruddin Hidayat Ketua Dewan Pers, Philips J. Vermonte (Presidential Communication Office) dan Ika Idris (Monash University). Diskusi dipandu oleh Ika Ningtyas (Cek Fakta Tempo), dengan Mei Suciati (Peneliti Pusat Media dan Demokrasi LP3ES) sebagai MC.

Acara yang berlangsung dari pukul 13.15 hingga 16.00 WIB ini mendapat perhatian luas dari kehadiran perwakilan lembaga nasional maupun internasional semakin menegaskan pentingnya isu yang diangkat dalam buku ini.

Dengan peluncuran buku tersebut, LP3ES berharap publik semakin peka terhadap praktik pasukan siber serta berperan aktif menjaga ruang digital agar tetap sehat demi masa depan demokrasi Indonesia.(Afit)

Komentar

Kolom Berita